Selasa, 20 Juli 2010

Filsafat Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah ungkapan tersohor " Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari ". Ungkapan tersebut menurut sebagian masyarakat menggambarkan sesuatu yang memiliki tanggungjawab terhadap segala kebaikan dan kejelekan wujud prilaku manusia. Sebagian masyarakat mengangap sesuatu yang sangat berjasa dan digolongkan pada tokoh-tokoh mulia, sehingga apapun yang diperbuat sang guru akan membangun prilaku manusia. Sebagian masyarakat yang lain juga memberikan anggapan bahwa pembelajaran yang disampaikan oleh sang guru berupa apapun akan memberikan pengaruh terhadap semua murid-muridnya. Terlepas dari pengertian ungkapan itu, semua manusia pasti mengenal guru, bahkan sampai-sampai pengalaman juga merupakan guru. Guru bisa hadir dihati melalui sentuhan-sentuhan rasa, cipta dan karsa yang tertuang dalam kitab-kitab, hasil karya. Guru bisa hadir ditelinga kita melalui cerita-cerita, dongeng, hikayat dll. Guru bisa kita pandang sebagai wujud, sosok bahkan tokoh yang kita kagumi. Guru dan pembelajaran ibarat sebuah sisi-sisi mata uang logam. Walaupun berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Hanya filosofi yang dapat mengartikan guru dan pembelajaran

Filsafat menurut pakar merupakan ilmu yang paling tertua dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Sehingga mereka menyebut bahwa Filsafat adalah induk dari semua ilmu-ilmu pengetahuan di muka bumi ini. Sebuah jawaban yang ingin kita temukan selalu hadir melalui pertanyaan. Subtansi pertanyaan sekarang dimulai dari Apakah yang ada itu secara kuantitatif tunggal atau plural, berada dalam realitas abstrak atau konkret ?. Apakah yang ada itu bersifat mutlak dan tetap atau relatif dan berubah ubah?. Jawaban yang hadir dari filsafat adalah, jika yang ada itu tunggal, berada di tingkat abstrak, maka akan bersifat mutlak dan tidak mengalami perubahan. Sedangkan jika menurut eksistensinya, yang ada itu plural, berada di tingkat konkret, bersifat relatif dan mengalami perubahan terus-menerus. Sehingga jika pertanyaan-pertanyaan yang berantai dipangkas akan muncul suatu kesimpulan bahwa pengalaman itu berasal mula dari satu substansi.
Masalah pendidikan, adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu. Pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh lodge, yaitu bahwa: life is education, and education is life”, akan berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan meberikan pengaruh pendidikan baginya.
Dalam artinya yang sempit, pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar- dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol.
Filsafat dan Teori Pendidikan Bagaimanapun luas sempitnya pengertian pendidikan, namun masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehiupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiannya, dalam membimbing, melatih,mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan cirri-ciri kemanusianya Dan pendidikan formal disekolah hanya bagian kecil saja daripadanya. Tetapi merupakan inti dan bisa lepas kaitanya dengan proses pendidikan secara keseluruhannya .
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan (masjumi Nur 2008:105). Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu pemahaman dipahami bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai tujuan.
Filsafat bukanlah semata-mata permainan alam pikiran yang hanya untuk memenuhi hasrat keingin tahuan kita tetapi meman mempunyai fungsi dalam kehidupan manusi. Setiap manusia cenderung mempunyai satau filsafat hidup yang sering disebut pandangan hidup. Mempelajari filsafat pendidikan sangat berguna bagi pahaman tentang apa yang akan dikerjakan dan mengapa hal itu dilakukan. Metode kajian filsafat adalah bgian latar belakang historis, kajian berbagai interpretasi , keputusan verdasarkan isu-isu pokok dan penetapan hubungan antara pengertian-pengertian yang sama.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang maka beberapa permasalahan dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Apakah berfilsafat penting oleh setiap pendidik dalam proses belajar mengajar bagi kemajuan pendidikan?
2. Apakah berfilsafat selalu melahirkan hal-hal atau ide-ide yang baik dalam dunia pendidikan?
3. Bagaimana para pendidik berfilsafat baik itu di Sekolah maupun di masyarakat umum dengan berpedoman pada aspek ontology, epistomologi, dan aksiologi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu filsafat
2. Untuk mengetahui apakah dengan berfilsafat akan melahirkan ide-ide dan hal-hal yang baik dalam bertingkah laku, berkarya, bekerja dan lain-lain
3. Untuk mengetahui begaimana filsafat pendidikan sebagai falsafah dalam menunjang proses pendidikan.

D. Manfaat penulisan
1. Sebagai bahan masukan bagi para pendidik terutama guru, untuk memperbaiki system pengajaran dengan memanfaatkan filsafat sebagai falsafahnya.
2. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya disiplin ilmu filsfat pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN



A. FILOSOFIS FILSAFAT PENDIDIKAN

a) Defenisi Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu sendiri Filsafat pendidikan secara garis besarnya bukanlah filsafat umum atau filsafat murni tetapi merupakan filsafat khusus atau filsafat terapan.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan, misalnya, idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan konstruktivisme. Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, danpositivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan.
Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan (wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan.
Filsafat secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting:
1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan sosial kita.
2) dengan memahami struktur konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada.
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama dengan sebaik-baiknya.
Filsafat dalam pendidikan (filsafat pendidikan) digunakan untuk memecahkan problem hidup dan kehidupan manusia sepanjang perkembangannya dan digunakan untuk memecahkan problematika pendidikan masa kini.
Beberapa masalah pendidikan yang memerlukan filsafat, yaitu :
1. Masalah pertama dan yang mendasar ialah tentang hakikat pendidikan.
Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia. Adalah merupakan hakikat hidup dan kehidupan.
Apakah hakikat manusia itu dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia?
2. Apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia?
Apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian manusia? Apakah ada faktor yang dari luar dan lingkungan, tetapi tidak berkembang dengan baik?
3. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu?
Apakah pendidikan itu untuk individu atau untuk kepentingan masyarakat?
Apakah pembinaan itu untuk dan demi kehidupan riil dan material di dunia ataukah untuk kehidupan di akhirat kelak?
4. Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab atas pendidikan?
Bagaimana hubungan tanggung jawab antara keluarga, masyarakat, dan sekolah terhadap pendidikan?
5. Apakah hakikat kepribadian manusia itu?
Manakah yang lebih untuk dididik; akal, perasaan, atau kemauannya, pendidikan jasmani atau mentalnya, pendidikan skill ataukah intelektualnya atau kesemuanya itu?
6. Apakah hakikat masyarakat dan bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah individu itu independen, ataukah dependen dalam masyarakat?
7. Apakah isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal?
Apakah kurikulum itu mengutamakan pembinaan kepribadian?
8. Bagaimana metoda pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal?
Bagaimana kepemimpinannya dan pengaturan aspek-aspek sosial paedagogis lainnya?
9. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik, apakah sentralisasi, desentralisasi, ataukah otonomi, apakah oleh Negara, ataukah swasta?
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dijawab dengan analisa filsafat sebagai berikut :
1. Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk Allah yang dibekali dengan berbagai kelebihan, di antaranya kemampuan berfikir, kemampuan berperasaan, kemampuan mencari kebenaran, dan kemampuan lainnya. Kemampuan-kemampuan tersebut tidak akan berkembang apabila manusia tidak mendapatkan pendidikan.
2. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Sejak dahulu, disepakati bahwa dalam pribadi individu tumbuh atas dua kekuatan yaitu : kekuatan dari dalam (kemampuan-kemampuan dasar), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor dasar” dan kekuatan dari luar (faktor lingkungan), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor ajar”.
Teori konvergensi yang berpendapat bahwa kemampuan dasar dan faktor dari luar saling memberi pengaruh, kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu. Si pribadi terpengaruh lingkungan, dan lingkungan pun diubah oleh si pribadi. Faktor-faktor intern (dari dalam) berkembang dan hasil perkembangannya digunakan untuk mengembangkan pribadi di lingkungan. Factor dari luar dan lingkungan kadang tidak berkembang dengan baik, misalnya ketika pribadi terpengaruh oleh hal-hal negatif yang timbul dari luar dirinya.
3. Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Secara sederhana Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Tujuan Pendidikan Nasional adalah menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan GBHN 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUSPN dan PP No 29 Tahun 1990. selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat. Berikut adalah penjelasannya
a. Pengembangan kehidupan sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk: 1) memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan, 2) membiasakan untuk berprilaku yang baik, 3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, 4) memelihara kesehatan jasmani dan rohani, 5) memberikan kemampuan untuk belajar, dan membentuk kepribadian yang mantap dan mandiri.
b. Pengembangan kehidupan sebagai anggota masyarakat : 1) memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat, 2) menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam lingkungan hidup, 3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Pengembangan kehidupan sebagai warga Negara mencakup upaya untuk : 1) mengembangkan perhatian dan pengetahuan hak dan kewajiban sebagai warga Negara RI, 2) menanamkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan Negara, 3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
d. Pengembangan kehidupan sebagai umat manusia mencakup upaya untuk : 1) meningkatkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, 2) meningkatkan kesadaran tentang HAM, 3) memberikan pengertian tentang ketertiban dunia, 4) meningkatkan kesadaran tentang pentingnya persahabatan antar bangsa, 5) mempersiapkan peserta didik untuk menguasai isi kurikulum.
Pembinaan tersebut pada dasarnya dipersiapkan untuk kehidupan riil dan material di dunia serta kehidupan di akhirat kelak.
4. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan.
Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak. Keluarga yang menghadirkan anak ke dunia, secara kodrat bertugas mendidik anak. Kebiasaan-kebiasaan yang ada di keluarga akan sangat membekas dalam diri individu setelah individu makin tumbuh berkembang. Selanjutnya pengaruh dari sekolah dan masyarakat yang akan tertanam dalam diri anak.
5. Kata kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal dari kata persona (bahasa Latin yang berarti kedok/ topeng) yang maksudnya menggambarkan perilaku, watak/ pribadi seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas yang dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik ataupun yang kurang baik.
Kepribadian adalah suatu totalitas psikophisis yang kompleks dari individu sehingga nampak di dalam tingkah lakunya yang unik. Hal-hal yang ada pada diri individu atau pribadi manusia pada dasarnya harus mendapatkan pendidikan, yakni akal, perasaan, kemauan, pendidikan jasmani atau mental, kemampuan atau keterampilan, serta intelektualnya. Semua hal tersebut dididik guna mencapai kepribadian yang baik.
6. Masyarakat merupakan tempat kedua bagi individu dalam berinteraksi. Karena keluarga terdapat dan berkumpul dalam suatu masyarakat. Secara sadar atau tidak keadaan masyarakat cukup memberi pengaruh kepada kepribadian seseorang. Kedudukan individu dalam masyarakat merupakan kondisi atau situasi yang tidak dapat dihindari karena individu juga merupakan makhluk social yang pasti membutuhkan manusia lain dalam hidupnya. Artinya, individu itu dependen dalam masyarakat.
7. Kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal adalah kurikulum yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kurikulum menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan pertumbuhan yang normal. Pembinaan kepribadian merupakan kajian utama kurikulum. Materi program berupa kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan self-esteem, motivasi berprestasi, kemampuan pemecahan masalah perumusan tujuan, perencanaan, efektifitas, hubungan antar pribadi, keterampilan berkomunikasi, keefektifan lintas budaya, dan perilaku yang bertanggung jawab.
8. Metode pendidikan sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan yang ideal. Metode yang tepat jika mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sejalan dengan mata pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Guru sebagai pendidik mempunyai tanggung jawab untuk memilih, menggunakan dan memberikan metode yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang tercantum dalam kurikulum. Kepemimpinan dan pengaturan aspek-aspek paedagogis harus dilakukan para pelaku pendidikan guna memperlancar proses tercapainya tujuan pendidikan yang ideal.
Beberapa aliran filsafat pendidikan;
1. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Apabila dilihat dari sudut karakteristik objeknya,filsafat dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu(1) Filsafat umum atau filsafat murni,dan (2) filsafat khusus atau filsafat terapan. Filsafat umum mempunyai objek :
1) Hakikat kenyataan segala sesuatu (metafisika) yang termasuk didalamnya,hakikat kenyataan secara keseluruhan (Ontologi),Kenyataan tentang alam atau kosmos (Kosmologi) kenyataan tentang manusia (Humanologi) dan kenyataan tentang tuhan (Teologi)
2) Hakikat mengetahui kenyataan(Epistemologi)
3) Hakikat menyusun kesimpulan pengetahuan tentang kenyataan (Logika)
4) Hakikat menilai kenyataan (Aksiologi),antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik dan jahat (Etika)serta nilai yang berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika)
Berbeda dengan filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu,filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang terpenting Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971).Kanzen, meninjau ilmu dari segi morfologis atau bentuk subtansinya,sebagi pengetahuan sistimatis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan .Ditinjau dari subtansinya atau isinya,ilmu pendidikan merupakan suatu sistim pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset dan disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan.
Dalam arti sempit pendidikan adalah pengaruh yang diupayakan dan rekayasa sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanyaagar mereka mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas social mereka atau pendidikan memperhatikan keterbatasan dalam waktu,tempat,bentuk kegiaatan dan tujuan dalam proses berlangsungnya pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah,pendidikan.
1. Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam 4 macam,yaitu:
Ontology ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan
2. Epistomologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan
3. Metedologi ilmu pendidikan ,yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikanAksiologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan

Beberapa aliran filsafat pendidikan;
4. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
5. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
6. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
ESENSIALISME DAN PERENIALISME
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)
3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)
Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.
b. Pendidikan nasional
Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.
Pendidikan nasional Indonesrn adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlanar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.


B. PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Ciri-ciri berfikir filosfi :
1. Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
2. Berfikir secara sistematis.
3. Menyusun suatu skema konsepsi, dan
4. Menyeluruh.
Empat persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :
1. Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika
2. Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.
3. Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.
Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:
2. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
3. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
4. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.
5. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :
1. Sebagai dasar dalam bertindak.
2. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
3. Untuk mengurangi salah paham dan konflik.
4. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.
Istilah filsafat memiliki cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Para filsuf alam mengemukakan pandangannya tentang dasar atau asal mula segala sesuatu serta peristiwa yang terdapat dalam alam ini. Asal atau dasar segala sesuatu ialah air menurut Thales, udara menurut Anaximenes, api menurut Herakleitos, bilangan atau angka menurut pendapat Phytagoras, atom-atom dan ruang kosong menurut pendapat Leukippos dan Demokritos, dan empat unsur utama menurut pendapat Empedokles. Pandangan lain dikemukakan oleh tiga orang filsuf besar, yaitu Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Bagi Sokrates yang merupakan asas hidup manusia adalah jiwa. Plato berpendapat adanya dunia ide yang merupakan dasar dari segala realitas yang tampak, sedangkan Aristoteles mengemukakan pentingnya logika bagi perkembangan pemikiran manusia menuju kepada kebenaran.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Ciri-ciri berfikir filosfi :
5. Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
6. Berfikir secara sistematis.
7. Menyusun suatu skema konsepsi, dan
8. Menyeluruh.
Empat persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :
4. Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika
5. Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.
6. Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.
Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:
6. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
7. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
8. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.
9. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :
5. Sebagai dasar dalam bertindak.
6. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
7. Untuk mengurangi salah paham dan konflik.
8. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusanketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakahkriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)

Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadappandangan filsafat lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup danpandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalamkehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagaiaspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dansebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

A. Ontologi

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaiamana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua¬lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke¬yakinan kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal daru satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
"Apakah yang nyata itu?" Suatu pertanyaan atau permasalahan tentang kenyataan). Memang filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Ataupun masalah utama yang harus kita bahas adalah masalah tentang kenyataan, tentang , realltas tentang yang nyata dari sesuatu. Umpamanya yang paling menonjol semenjak zaman purbakala ialah "Dari apakah Dunia ini terbuat?" Sepintas lalu bagi orang awam, pertanyaan yang tolol raja.
Apakah untungnya kita membuang-buang waktu membicarakan tentang asal-usul dunia, dari apa dia terbuat dan sebagainya itu? Kita sudah mengetahui dan melihat dunia ini se iap hari. Demikianlah keadaannya, seperti yang kita lihat itu. Cukuplah begitu.
Pertanyaan yang nampaknya tolol itu, kenyataannya banyak juga orang yang menanggapinya dan mencari jawabannya. Yang jelas, manusia-mananusia modern di abad kita ini telah banyak memperoleh sukses dalam penyelidikan dan eksploitasi mereka di biding teknologi ya ig berhasil dengan gemilang, karena mereka menanggapi pertanyaan¬-pertanyaan tolol seperti itu dan tidak meremehkannya. Barangkali contoh yang klasik dalam hal ini adalah bom tom atau generasi pe ierusnya yang berupa bom-bom thermonuclear lainnya yang merupakan lambing keunggulan umat manusia dalam menguasai alam.
Hal itu dimungkinkan karena manusia, modern ini telah mengejawantahkan teori-teori tenting asal-usul alam ini ("Dari apa dunia itu terbuat?") yang telah dimulai oleh orang-orang dahulu kala. Orang-orang Greek (Yunani) purbakala telah banyak memperkatakan tentang kejadian dunia ini. Ahli-ahli filsafat mereka telah menciptakan filsafat alam yang pertarna-lama di dunia dan telah berspekulasi tentang asal mula alam semesta ini. Udara, air, api, mereka katakan sebagai bahan utama dari kenyataan, asal-usul sesuatu yang ads di dunia ini. Selagi ahli pikir dan ahli filsafat lainnya berusaha mencari unsur utama alam semesta, tiba-tiba Democritos menampilkan gagasannya bahwa: "Ada kemungkinan besar sekali, bahwa dunia ini tidak terbuat diri benda-benda alam, akin tetapi dari butiran kecil-kecil yang bertindak sebagai batu bangunan bust jagad raya ini yang dapat disusun dan dibentuk dalam berbagai bentuk dan dalam bermacam ragam variasi yang tiada terbatas". Butiran kecil-kecil itu oleh Democritos diberi Hama Atom yang dalam bahasa Yunani berarti tidak bisa dibagi/dipecah lagi sejak mass itu, benda yang kecil yang dikatakan tidak dapat dipecah dan dibagi lagi itu, merupakan unit tertinggi diri realitas physika.
Ilmu physika atom kemudian timbul di lingkungan orang Yunani, dengan pengertian bahwa untuk mencari atau mengetahui batu bangunan dasar diri jagad raya ini hendaklah dilakukan dengan memecahkan masalah susunan ash (orisinil) diri masalah atom tersebut. Penelitian itu torus dilakukan sampai kepada mass kits ini. Dan banyak penelitian dalam biding physika mengusahakan untuk mengetahui keadaan butiran-butiran kecil yang disebut atom itu. Spekulasi-speku Iasi yang muncu I dalam abad ke-19 dan awal abad ke- 20 diri para. ahli physika mengatakan bahwa atom itu berbentuk bulat dan bahwa zat atau benda itu terbuat atau tersusun dalam partikel¬partikel yang sangat kecil yang berbentuk marmer atau bola bilyard yang jumlahnya tidak terbatas.
Penelitian abad ke-10 menyatakan bahwa atom itu sebenarnya susunan dari partikel kecil-kecil yang bernama elektron, yang berputar keliling inti-nya yang sangat menyamai keadaan planet-planet yang b !rputar mengedari mats hari. Penelitian * yang lebih kemudian, menyatakan bahwa inti atom itu masih tersusun lagi dari bends-bends yang lebih kecil lagi yang disebut neutron dan proton. Daih-fienda¬b nda kecil itu masih terdiri alas unsur-unsur yang lebih kecil lagi.
Akan tetapi para ahli physika mempertanyakan kepada diri n ereka sendiri, kemanakah tujuan dari segala penelitian itu?. Mereka rr ulai merasa kebingungan, apakah mungkin untuk mengukur k,.Aalaman zat atau benda untuk menemukan partikel zat atau benda ivi yang betul-betul asasi, yaitu unit realitas yang secara mutlak tidak dapat dipecah-pecah atau dibagi lagi?. Mereka para ahli itu sudah jelas, pads mass sekarang ini telah mengembara dan berjalan jauh M1.1ampaui batas-batas pandangan mats mereka sendiri, bahkan melampaui jangkauan indera mikroskop yang paling peka sekalipun. St:baliknya, mereka harus pugs dan menghibur diri mereka sendiri do ngan- model teoritis tenting partikel atom, yang mereka pergu'nakan untuk menerangkan tentang gerak-gerik atom. Sampai ke titik ini, mereka mulai menyadari bahwa pads hakikatnya sifat atau gerak¬(:rak atom itu adalah gerak-gerak zat atau bends, begitu pula st -ukturnya yang menyatakan apa sebenarnya yang mereka inginkan. Timbahan lagi tatkala penelitian berlanjut sampal kepada keluarga pLrtikel tersebut, keadaan menjadi lebih jelas lagi bahwa sebagian. te,iaga nuklir itu kelihatannya ditugaskan untuk menahan partikel¬partikel itu pada tempatnya dan untuk mengawasi gerakan dan kelakuan partikel itu dengan cepat pula menarik perhatian sebagaimana diri partikel itu sendiri. Kenyataannya, partikel-partikel itu sedikit demi sedikit semakin dapat dimengerti orang, sebagai titik kuttib te:iaga (energi) sama seperti butiran-butiran kecil dari sesuatu benda. Hal ini menimbulkan kemunculan ilmu physika modern, yang m 'Inganggap zat atau benda itu sebagai-dibuat atau ditimbulkan dari al:a yang biasa disebut oleh para ahli physika sebagai energi yang di )ekukan, sama seperti marmer atom yang sudah dibicarakan tadi. Tenaga dan zat atau benda itu pendek kata adalah hanya dua bentuk
Dengan perubahan pemikiran yang fundamental ini, munculah dengan jelas, terang dan gamblang suatu revolusi yang lengkap sempurna di dalam pengertian ilmu physika, semacam kelornpok bare dari prosddur dan desain-desain percobaan (eksperimental). Dalam kenyataannya, banyak terdapat problema-problema barn yang belum pernah terjadi di zaman ahli-ahli physika atom di zaman Democritos dengan teori marmer mereka yang menggunakan Salah satu problema, tentunya ialah yang dengan kemungkinan untuk melepaskan energi yang terpendam di dalam atom itti. Hasil-hasil percobaan dalam hat itu tenlu tidak asing lagi bagi kita. Akan tetapi basil-basil tersebut tidak pernah akan muncul menjadi kenyataan dan tidak pernah dimimpi-mimpikan orang, sekiranya kita tidak pernah mendobrak apa yang dipandang secara komplit sebagai hat yang tidak lazim, menyimpang dari kebiasaan, dan secara radikal dipandang sebgai yang berbeda tentang alarn dan tentang zat atau benda itu sendiri-Yang menjadi titik persoalan ialah kita hares memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas, mengontrol pertanyaan kita tentang dunia kita ini. Dan tanpa adanya akan memperoleh jawaban dari mana. pertanyaan, kita jelas .tidak kita nantinya akan membina 'kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan disiplin tentang masalah-masalah pokoknya.
Bila kita kembali kepada masalah kurikulum sekolah baik jangkauan maupun isinya, dia diambilkan dari hat-hat 'yang telah diketahui dan dialami orang sebelumnya dari nilai-nilai yang diperoleh manusia dari alam semesta yang dia sendiri menjadi bagiannya. Apa yang hares diketahuinya yang merupakan himpunan ilrnu pengetahuan yang dimilikinya, semua itu adalah merupakan produk dari keingintahuannya yang Ang dibina dan dikembangkan tentang dunianya, dan penyelidikan yang dilakukannya yang dihimpun menjadi pengalamannya. Keingintahuan dan penyelidikan-penyelidikan itu, nyata sekali dikontrol oleh pendapatnya tentang dunia ini dan oleh pertanyaan-pertanyaan dan penyelidikan yang sesuai untuk keperluan tersebut. Oleh karena itu perhatian kita yang penuh dan tertinggi dalam teori pendidikan yang mengandung permasalahan filosofis utama adJah ontologi, yaitu studi tentang realitas yang tertinggi.
Adapun teman dekat ontologi itu adalah disiplin metaphysika. Dui ungkapan ini memiliki arti, maksud dan tujuan yang hampir ser ipa. perbedaan kecil memang ada, yaitu ontologi m'e mbahas masalah realitas, sedangkan metaphysika merupakan studi tentang sifat dari ad., atau eksistensi (existence). Oleh karena itu apa yang nyata (riil) itu dianggap ada dan apa yang Ada sudah tentu nyata. Kita tidak pei lu berdalih dan berdebat tentang perbedaan dua macam persoalan ini Setidak-tidaknya dalam masalah ini saja kedua topik ini akan me iyangkut daerah yang sama. yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Realitas dan Kenampakan (yang terlihat)
Kita dapat mendekati masalah realitas dan kenampakan ini bei lasarkan kata ada yang kita pandang sebagai keragaman c ' yan y spc sifik dan prosedur ontologi. Yang pertama dari semuanya itu digunakan membedakan apa yan/c, sebenarnya nyata atau Ada ek! istensinya dari apa yang hanya nampaknya saja nyata. Di atas tel" h kita nyatakan bahwa dua ungkapan nyata dan ada, lebih kurang dal at mempunyai pengertian yang serupa, Contoh dapat kita kei iukakan, umpamanya sebuah,tongkat itu lurus, menurut perasaan kit; , sebelum kita ceburkan ke dalam air. Tetapi setelah di dalam air menurut perasaan dan penglihatan kita dia bengkok. Kita ambit kei )bali tongkat itu, maka keadaan tongkat itu kembali seperti biasa (lu us). Dengan mempertentangkan kedua kenyataan itu kita dapat me ietapkan pilihan kita mana yang, lebih.,.nyata dan mana yano,
nai ipaknya saja nyata.
Akan tetapi bagaimana sekiranya kedua kenyataan itu tidak ]an ;sung bertentangan satu sama lain? Urnpamanya lantai tempat kita ber liri, kelihatannya ke ada annya lurus ke depan, permukaannya dautr dan memiliki warna tertentu dan dia menopang berat kita ketika ber-firi. Tetapi bagi seorang ahli kimial-''betapapun juga, tLidaklah dernikian keadaannya. Bagi dia lantai itu mungkin terdiri dari hydro carbon yang bergabung dalam satu cara tertentu, dan tunduk kepada keadaan dan variasi tau kenyataanya dalam berbagai cara dan pandangan. Yang jelas, semua penampilan dan dimensi keadaannya dalam berbagai kenyataan van(, disebutkan tadi, nampaknya dapat diterima dan masuk akal, baik bagi kita, bagi ahli kimia maupun bagi seorang ahli physika.
Akan tetapi. manakah di antara pandangan-pandangan itu yang paling nyata?. Yang manakah di antara tiga macam kenampakan itu yang paling dekat dengan realitas?. Jelaslah bahwa kita tidak bersedia untuk mengatakan bahwa pengalaman yang timbul dari tiga macam pandangan tadi menunjukkan adanya kualitas-kualitas eksistensi yang bermacam ragam. Lantai tersebut tadi sesungguhnya dapat dikatakan, berada dalarn bermacam keadaan yang berbeda-beda.
Sekarang mari kita beralih kepada contoh yang agak lebih kompleks. Sesuatu kejadian yarfg bahan laporaiifpenglihatannya sama, akin tetapi dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh orang- orang yang berbeda-beda pula. Kita biasa menemukan atau menghadapi kesulitan untuk menentukan centa yang sama tentang sesuatu kejadian, misalkanlah suatu eksiden, kecelakaan atau kemalangan. Anggaplah pula, bahwa kejadian itu disaksikan oleh sekitar enam atau tujuh orang saksi mata. Tetapi mereka itu semuanya orang-orang biasa saja, bukan ahli kimia, bukan ahli physika dan lain-lainnya. Masing¬masing mereka ini bercerita katakanlah memberikan laporan. Mengapa laporan mereka itu tidak sama clan serba sedikitnya terdapat perbedaan. Mengapa mereka tidak dapat mengatakan hal yang serupa tentang
suatu kejadian atau kenyataan yang sama-sama mereka saksikan bersama pada detik dan waktu yang bersamaan pula?. Bagairnanakah nantinya pendapat seseorang yang lain yang tidak menyaksikan tersebut dengan mata kepalanya sendiri seperti hakim atau kejadiant persepsi manusia benarlah, bahwa kegagalan dalam sistem persepsi merupakan keterbatasan yang nyata di dalam bidang hukum dan perundang-undangan. Akan tetapi hal inipun sangat mengganggu dalam bidang pendidikan. Dalam bidang sejarah umpamanya, sudah sangat biasa kita mendengar bahwa para ahli sejarah yang berlainan melihat masa lampau yang berlainan pula. Orang dapat berpikir bahwa masa lalu adalah masa lalu, demikianlah selanjutnya. Mengapa kita tidak dapat berkumpul bersama-sama lalu menutis suatu sejarah seluruh dunia secara lengkap, obyektif, clan final? Sejarah dunia lengkap ini, kemudian kita bagi dalam bagian-bagian yang lebih kecil, dalam berbagai topik dan lain-lain sebagainya lalu ditulis sedemikian itu. Sejarah malahan ditulis kadang-kadang dengan cara yang kasar, diputar balikkan, tidak mengandung rasa kemanusiaan yang benar, jauh dari rasa k2adilan dan lain-lain, yang kita sendiri tidak tabu menahu tentang hal itu,. Semua yang-kita ketahui tentang sejarah ialah apa yang ditulis dan diceritakan oleh para sejarawan, :)aik formal maupun informal, baik oleh orang yang memang ahli itau hanya tukang cerita saja, kepada kita dan anak-anak kita. Isinya iaruslah selalu kita saring dengan otak, ilmu pengetahuan, dan akal )Ikiran kita yang waras dan sehat. Dan setiap akal pikiran manusia to mempunyai daya seleksi dan daya saring terhadap segala macam irti dari kejadian yang menimpa manusia..
Sebagai tambahan lagi, kita misalkan semua saksi dalam suatu kecelakaan atau semua ahli sejarah yang membahas suatu kejadian j--iasa lampau, semuanya sepakat mengenai suatu gambaran yang t ksplisit dari kecelakaan itu atau arti dan makna dari kejadjan sejarah ('rsebut. Dapatkah hal itu menjadi jaminan bagi kita untuk mengatakan 1 ahwa kualitas nyata dari kejadian itu pada akh I rnya dapat kita ungkapkan?. Kalau kita katakan ya berarti kita maksudkan ialah bahwa realitas atau kenyataan itu bisa i dtentukan dengan jalan mengumpulkan pendapat umum (mengumpulkan suara). Apabila sernuanya setuju maka kita dapat memperoleh gambaran dari ke ada an (eksistensi) yang Oipandang benar, balk untuk benda maupun untuk kejadian (event). Tetapi anggaplah bahwa salah seorang dari seratus orang yang melaporkan kejadian 'itu tidak setuju dengan sembilan puluh sembilan yang lainnya, apakah hal itu dapat membatalkan kesaksian dari yang sembilan puluh sembilan yang lain itu? bagaiamanakah kalau perbandingan itu menjadi 51 dan 49.
Pertanyaan di atas yang nampaknya sederhana dan lugu itu, melukiskan kesulitan yanc, luar biasa buat menetapkan realitas tertinggi, kecuali harus melalui'media yang Samar dari yang terlihat saja (kena . inpakan – appearance). Bagaimana seseorang dapat Mengira bahwa hal seperti ini dapat menciptakan perubahan dalarn usalia, pendidikan secara tepat, sebab keyakinan seorang guru haruslah tercermin dalam pclajaran yang dia ajarkan. Dia harus merasa yakin bahwa hal itu merupakan perwujudan dunia nyata di many dia dan Apabila dia mengabaikan para siswanya berada dan bertempat tinggal. Apabila peringatan yang terkandung dalam pertimbangan ontologis dia dapat menganggap mata -pelajaran dalam pengetahuan tertentu dan dia merasakan bahwa dia dapat bertahan untuk dikatakan dogmatic dalam cara mengajarnya dan dia dapat mendesakkan tuntutannya untuk mempelajarinya tanpa banyak tanya. Tetapi sebaliknya jikalau dia mengakui tidak mempercayai. persepsi clan observasi orang, maka dia dapat menjadi lebih cenderung untuk bersifat terbuka dalam masalah tersebut, mengizinkan adanya diskusi dan mempertimbangkan bukti-bukti apabila sesuai dengan keadaan, dalam situasi belajar:
Ontologi perbandingan
Togas dari Filsafaf'Pendidikan antara lain ialah tidak terlalu .
sepihak membenarkan salah satu macam praktek mengajar atas yang lainnya. Akan tetapi cukup sederhana, yaitu untuk membina suatu hubungan dalarn berpikir antara idea-idea tentang realitas dasar dengan prosedur setiap harinya di dalam ruangan kelas. togas dari ontologi tertentu dan spesifikasinya yang dipergu:,akan sejalan dengan cara belajar anak, laki-laki maupun wanita dan de) gam cara guru mengajar. Untuk melakukan hal ini secara sistema is, kita akan menampilkan enam macam ontologi, yaitu: Idealist:!e, realisme, Islam, Neo-Thontisme, Experimentalisme dan Existent -'alisme. Kita akan menampilkan buah pikiran utama dari aliran¬aliran fi safat berikut konsep pokok mereka dalam pendidikan. Sejarah pemikir in filsafat pada dasarnya tidaklah terlalu murni sebagaimana akan kit i kemukakan dalam buku ini. Sistem-sistem yang kita sebutkan di atas Ian masih banyak lagi yang lain-lainnya tidaklah diciptakan, kemudi in diberikan tempat sebagai teori hidup yang lasim dansebagainya
Sebaliknva sistem-sistem tersebut bertumbuh dan berkem )ang seperti hal-hal lainnya, di luar situasi dan kondisi seseorai g pada satu waktu tertentu. Tetapi sistem-sistem itu mewakili orang-c -ang yang berbeda-beda, yang hidup pada tempat dan waktu yang b- i-lain-lainan, mereka dipandang penting clan berarti dalam pengala man mereka. Melihat teori-teori yang berlainan dan terpisah¬pisah y; ng kita soroti sekarang ini, kita tidak harus berhadap bahwa teori-tet in tersebut akan menjadi eksklusif satu sama lain dalam keadaari apapun. Tapi dapat dikatakan bahwa teori-teori itu memang berbeda dan berlainan satu lama lain. Hal tersebut merupakan penekarian yang di sekelilingnya, dihimpun tertentu yang secara sistematis dapat dimengerti. hal ini berarti bahwa beberap i teori yang kita pisalikan buat kebutuhan studi dan analisa, kerap kah dapat dilihat adanya hubungan satu sama lainnya. Atau memecahkan problema di dalam pengalaman manusia dari sudut yang berlainan, mereka tentu akan sampai kepada kesimpulan yang sama dan serL.pa betel, meskipun diucapkan dalam bahasa yang berbeda. Guna momberikan perumpamaan singkat, kita dapat menunjuk kepada idea tertang jiwa dalam tulisan-tulisan keagamaan yang secara intelekn:/a dekat dengan idea tentang diri (seo, terutarna sekali diri yang didefinisikan oleh golongan Idealis. Dan apabila kedua golongan, golongan agama dan filosof-filosof Idealis dalam mengembangkan yang pada sesuatu. Walaupun demikian, banyak sifat yang ada pada se:suatu. Walaupun demikian, tidak,berarti sifat-sifat yang lain disangl al. Pengakuan hanya membenarkan sifat yang dinyatakan, tanpa memp(dulikan sifat yang lain. Adapun mengenai yang disifati, ada kemun ;kinan merupakan barang umum atau barang khusus, sebagai contoh
Ayam itu unggas (ayam umum) - tidak menunjuk benda tertentu. A. am itu jantan (ayam khusus) – mengisyaratkan Di ihat dari segi lingkup sasarannya, ada dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan umum (contoh pertama) dan pengetahuan khusus (contoh kedua). Dalambal ini perlu dihindari penya . aan pengetahuan dengan ilinu (lihat liat bagian akhir bab ini). Pengetahuan umum masuk ke dala n dunia idea, tertangkap dalam pikiran, berada dalam alam abstrak, dan ketentuannya berlaku uuniiversal. Sedangkan pengetahuan khusus !nasuk ke dalam dunia empiris, tertangkap dalam pengalaman, berada (- alam alam konkrit, dan ketentuannya berlaku partikular.

B. Aksiologi
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional
Hasil Ilmu Pendidikan adalah konsep-konsep ilmiah tentang aspek-aspek dan dimensi-dimensi pendidikan sebagai salah satu gejala kehidupan manusia. Konsep-konsep tersebut gat berguna untuk meningkatkan pemahaman kita tentang berbagai aspek clan dimensi pendidikan. Pemahaman tersebut secara potensial dapat dipergunakan untuk lebih mengembangkan konsep-konsep ilmiah pendidikan, baik dalam arti meningkatkan mul,u (validitas dan signifikansi) konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada, maupun melahirkan atau menciptakan konsep¬konsep baru, yang secara langsung atau tidak langsung bersumber pads konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada. Dengan kat~. lain, pemahaman terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan secara potensial mempunyai nilai kegunaan untuk.mengem-bangrkan isi dan metode Ilmu Pendidikan. Di camping itu, secara potensial dapat pula membantu meningkatkan wawasan dan keyokinan diri kita, baik sebagai ahli pendidikan atau teoretikus penc'.idikan maupun sebagai praktisi pendidikan (pendidik dan pengelola pendidikan). Dengan kata lain, secara potensial dapat turut serta mengembangkan mutu profesional teoretikus dan prak;isi pendidikan.
Konsep-konsep ilmiah pendidikan memperluas khazanah penge¬tahu; in tentang tingkah laku manusia sebagai individu atau pribadi, sebali•ai makhluk social, dan sebagai makhluk susila. Hal ini me¬ngan lung arti bahwa konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan oleh Ilmu. Pendidikan memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap perkembangan Ilmu-Ilmu Tingkah-Laku (Behavioral Sciences) dan/ atau ilmu-ilmu Sosial. Secara teoretis, rentang lingkup dan wa¬wasan Ilmu-ili-nu Tingkah-Laku dan/atau 11niu-ilmu Sosial diperluas dan diperkaya oleh konsep-konsep ilmiah pendidikan. Masuknya pendidikan sebagai objek penyelidikan Ilmu-ilmu Tingkah-Laku dan/atau Ilmu-ilmu Sosial menyebabkan perubahan-perubahan yang berarti dalam penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan dalam cabang-cabang ilmu yang menjadi komponen-komponen Ilmu¬Ilmu Tingkah-Laku dan/atau Ilmu-ilmu Sosial. Dalam setiap cabang ilmu tersebut, pendidikan menjadi salah satu objek penclitiannya: Dengan demikian, lahir dan berkembanglah sub-cabang: Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sosial Pendidikan dalam komponen Psikologi; Antropologi Pendidikan dan Etnografi Pendidikan dalam komponen Antropologi; Sosiologi Pendidikan, Ekologi Pendidikan dan Pendidikan Kependudukan dalam komponen Sosiologi; Ekonomi Pendidikan dalam komponen Ekonomi; dan sebagainya.
Meskipun status ilmiahnya masih belum sejajar dengan ilmu¬ilmu yang sudah mapan, Ilmu Pendidikan dapat memberikan sumbangan teoretis terhadap perkembangan Ili-nu-ilmu Sosial (So¬cial Sciences) atau Ilmu-Ilmu Tingkah-Laku (Behavioral Sciences). Sumbangan tersebut, antara lain berupa memperluas konsep¬konsep ilmiah yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau pola tingkah laku manusia. Ilmu Pendidikan menghasilkan konsep¬konsep ilmiah tentang pola tingkah laku dalam proses belajar¬mengajar yang berlangsung di lingkungan hidup manusia. Konsep-konsep tersebut menambah rekanan konsep-konsep aspek-aspek sosio-budaya dalam kehidupan manusia. Teori-teori ilmiah tentang kehidupan sosio-budaya manusia tidak hanya terbatas pada teori¬teori ilmiah dari psikologi sosial, Sosiologi, antropologi, politik, dan ekonomi, tetapi dapat pula bersumber pada Ilinu Pendidikan. Di camping itu, Ilmu Pendidikan memperluas jangkauan studi inter¬disipliner atau multidisipliner dalam memahami kehidupan dan tingkah laku sosial manusia. Dengan demikian, pendekatan peda¬gogic secara mikro maupun makro menjadi rekanan dari pende¬katan sosio-budaya. Keberadaan Ilmu Pendidikan dengan cabang-cabang Ilmu Sosial lainnya menjadikan Ilmu Pendidikan makro dewasa dan mampu bersaing dengan sesama cabang-cabang Ilmu sosial lainnya. Ilmu Pendidikan tidak lagi mengisolasi diri dalam ruang hidupnya, tetapi berinteraksi Baling mempengaruhi cabang¬cabang Ilmu Sosial lainnya.
Konsep-konsep ilmiah tentang pendidikan menjadi salah satu dasar yang penting bagi berkembangnya teknologi pendidikan dalam arti program-program pendidikan. Program-program pen¬didikan berisi prosedur-prosedur dan teknik kerja yang sistematis untak mengelola dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan dalam satu satuan pendidikan atau keseluruhan satuan pendidikan, misalnya teknologi pengelolaan pendidikan, baik makro maupun mikro, dan teknologi kegiatan pendidikan atau kegiatan belajar mergajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sehubungan de¬nga-1 hal ini, konsep-konsep ilmiah pendidikan menjadi sebagian dari prinsip-prinsip kerja dalam mengelola keseluruhan satuan-satuan pendidikan dan setiap satuan pendidikan, serta dalam me-laksanakan seperangkat kegiatan pendidikan atau kegiatan belajar mergajar di sekolah atau di satuan pendidikan luar sekolah. Sebagian prinsip-prinsip kerja dalam mengelola dan melaksanakan pendidikan lainnya bersumber pada konsep-konsep ilmiah, baik dari disiplin ilmu-ilmu kealaman maupun disiplin ilmu-ilmu sosial, serta komep cita-cita yang bersumber dari ajaran-ajaran hidup, seperti agaria, hukum dan filsafat. Mengapa demikian, karena pendidikan seba -ai suatu bentuk usaha yang khas, bertumpu pada dasar-dasar fakti tal dan dasar-dasar idiil atau normatif.
Bowntree dalam Educational Technology in,Curriculum Develop¬meni, antara lain menyatakan bahwa oleh karena teknologi pendi¬dika i adalah seluas pendidikan itu sendiri, maka teknologi pendi¬dika'i berkenaan dengan desain dan evaluasi kurikulum dan peng¬alarr an-pengalaman belajar, serta masalah-masalah pelaksanaan dan kerbaikannya. Pada dasarnya, teknologi pendidikan adalah suatu pendekatan pemecahan masalah pendidikan secara rasional, suat-i cara berpikir skeptic dan sistematis tentang belajar dan menj ajar. Teknolog-, pendidikan yang dikembangkan oleh kalangan pend dikan bukan teknologi pendidikan dalam arti piranti keras, tetal i piranti lunak, yang berhubungan dengan perekayasaan program-program pendidikan atau program-program belajar-meng¬ajar 'yang dibutuhkan oleh guru dan murid. Sedangkan piranti (misalnya, proyektor film, alat perekaman suara, komputer mikro , dan sebagainya) dikembangkan di luar pendidikan.
Teknologi pendidikan sebagai program-program pendidikan ber¬isi tel nik-teknik kerja yang sistematis untuk mengelola sekolah dan kelas Sehubungan dengan hal ini, David Pratt dalam Curriculum: Desig i and Development, antara lain menyatakan bahwa teknologi pendi likan dapat dipahami dalam arti pengembangan seperangkat teknik-teknik yang sistematik, dan yang menyertai pengetahuan praktis untuk merancang, menguji coba, dan mengoperasikan se¬kolah sebagai sistem pendidikan. Teknologi pendidikan dalam pe¬ngertian tersebut adalah perekayasaan pendidikan. Perekayasaan tersebut menggunakan banyak cabang ilmu, termasuk di dalamnya merancang ruang kerja yang menggunakan arsitektur, merancang peralatan pendidikan menggunakan ilmu kealaman, merancang lingkungan sosial menggunakan sosiologi dan antropologi, meran¬cang prosedur-prosedur administratif yang menggunakan ilmu or¬ganisasi, dan merancang kondisi-kondisi untuk belajar efektif yang menggunakan psikologi. Dalam teknologi, cabang-cabang ilmu ter-sebut tidak digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi lebih ditujukan untuk pemecahan masalah-masalah praktis dengan menggunakan berbagai jenis usaha perekayasaan yang dikenal sebagai desain dan pengembangan. Dalam hubungannya dengan usaha-usaha perekayasaan tersebut, meningkatlah perbendaharaan informasi tentang bagaimana cara kerja, yang sedikit banyak dapat disamakan dengan masalah-masalah lain dalam ikatan-ikatan lain, yang masih dapat disebut teknologi.
Teknologi pendidikan berkenaan dengan keseluruhan proses pendidikan, pada dasarnya terdiri atas tiga tahap, yaitu 1) peren¬canaan, (2) pelaksanaan, dan (3) penilaian. Oleh karena itu, secara konseptual teknologi pendidikan mencakup: (1) Teknologi Peran¬cangan Pendidikan, (2) Teknologi Belajar-Mengajar, dan (3) Tekno¬logi Evaluasi Pendidikan. Teknologi Perancangan Pendidikan ter¬utama berkenaan dengan prosedur-prosedur penyusunan dan pengembangan kurikulum. Teknologi Belajar berkenaan dengan pengembangan yang berfungsi: (1) melibatkan motivasi siswa, (2) meningkatkan kembali hasil belajar yang lama, (3) memberikan rangsangan baru dalam belajar, (4) menggiatkan tanggapan siswa, (5) memberikan balikan secara cepaf, dan (6) mendorong timbulnya aktivitas yang tepat pada siswa (Rowntree: 168). Teknologi meng¬ajar, seperti dikemukakan oleh S. S. Chauhan dalam Innovation in Teaching Learning Process, mencakup: (1) Proses Mengajar-Belajar, (2) Model-Model Mengajar, (3) Rancangan-Rancangan.Pengajaran, (4) Pengajaran Mandiri, (5) Pengajaran Terprogram dan Mesin Mengajar, (6) Sistem Pengajaran yang berorientasi pada Diri Pribadi (PSI atau Personalized System of Instruction), (7) Pengajaran Sedangkan Teknologi Evaluasi Pendidikan berkenaan dengan model-model evaluasi pendidikan.
Diseminasi atau penyebaran penggunaan teknologi pendidikan dal im masyarakat pendidikan pada dasarnya merupakan suatu ado psi terhadap pembaruan-pembaruan pendidikan atau teknik¬tekiik pendidikan baru. Pembaruan akan gagal apabila teknik¬tek:iik pendidikan baru yang diadopsi tidak melembaga dalam pra.ctek pendidikan. Menurut Kurt Lewin ada tiga tahap dalam mei gimplementasikan suatu pembaruan, yaitu (1) unfreezing atau pen:,,ikisan, (2) changing atau pengubahan, dan (3) refreezing atau perrantapan (Rowntree: 236). Selama tahap pengikisan praktek¬pral tek pendidikan lama diperlemah, dan orang dipersiapkan untuk mer ,hadapi suatu perubahan-perubahan. Selama tahap perubahan, mer,!ka mengenyampingkan atau membuang praktek-praktek pen¬didi'! -,an lama dan mencoba menggunakan yang baru. Selama tahap pem intapan teknik-teknik pendidikan baru dikuatkan penggunaan¬nya, akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan kegi Stan dalam sistem.
KEGUNANAN BAGI FILSAFAT

Konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan oleh Ilmu Pendidikan, secara potensial dapat mengundang berkembangnya kritik pendidikan, baik yanE datang dari kalangan para pengamat pendidikan pada umu. anya, maupun yang datang dari kalangan para profesional pend dikan, yang termasuk di dalamnya para ilmuwan pendidikan, para filosof pendidikan serta para pengelola dan pengembang pendJ dikan. Maraknya kritik pendidikan memberikan kondisi yang menu niang pada berkembangnya Filsafat Ilmu Pendidikan. Konsep¬konsc p ilmiah yang dihasilkannya, secara potensial merupakan objek mate: ial dari Filsafat Ilmu Pendidikan. Selanjutnya, apabila Filsafat Ilmu ?endidikan dapat berkembang dengan subur dan sehat, maka akan mendorong berkembangnya kajian-kajian yang intensif dan ekste:iisif terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan, yang secara poten!;ial mendorong berkembangnya riset-riset ilmiah yang tertuju pada ' )engujian-pengujian kebenaran dan kepalsuan konsep-konsep ilmiah pendidikan. Kegiatan ini akan menghasilkan perbaikan¬perbai kan validitas dan signifikansi konsep-konsep ilmiah pendidikan. Prose: ini pada akhirnya akan menghasilkan konsep-konsep ilmiah
1. Epistemologi (Epistemology)
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology.
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi.
Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini. Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
- Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
- Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
- Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?


Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.

C. FILSAFAT DAN SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA

Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yangbegitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikansebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa(nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakatidan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi "semangat zaman" (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota -anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebihlanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga -lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasukkeagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MIsemua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau "tradisional" yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide -ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama olehmasyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki "perbatasan" (sejarah) pendidikan dengan "ilmu-ilmu terapan" yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis "simbiose mutualistis" antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Falsafat filsafat sebagai disiplin ilmu ialah selalu bertanya untuk mendapatkan kebenaran! Kata "Bertanya" adalah dasar dari pengembangan Ilmu Pengetahuan, ilmu apapun. Dari Pertanyaan-pertanyaan yang ada, melahirkan metode-metode/teory-teory pengembangan dan penelitian untuk mengetahui suatu kebenaran (lahirnya Sosiologi, Antropologi, Hukum, Matematika, ilmu fisika, kimia, ilmu kemiliteran, ketatanegaraan dst). Ini dasar berfikir FILSAFAT.
Dalam Memahami filsafat sering kali kita terjebak dalam teory-teory (pada umunnya, karena tugas-tugas dan juga karena sistem mempelajari filsafat di Tanah air lebih banyak mengarah pada menghafal teory-teory dan rumusan-rumusan para filosofis) sementara dalam tatanan praktis-praksis pragmatis porsinya sangat sedikit, akibat dari itu paham dan pengertian berfilsafat baru pada tatanan kognitif, belum pada tatanan praktis-praksis pragmatis....filsafat pendidikan baik di sekolah Dasar sampai pada Perguruan Tinggi seharusnya mengarahkan peserta didik pada paham praktis-praksis pragmatis bukan pada tatanan menghafal (kognitif belaka)
Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiolog
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi agar supaya upaya dan usaha yang menjadi program dalam pendidikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.



DAFTAR PUSTAKA


Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung.

Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Brugmans, LJ. 1938. Geschiedenis van het OnderwUs in Nederlandsch-Indiey Groningen-Batavia: J.B. Wolters.

Church, Robert L. 1971. "History of Education as a Field of Study", dalam The Encyclopedia of Education. The Macmillan Company & Free Press.
Djojonegoro, Wardiman. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departernen Pendidikan dan Kebudayaan.
Filsafat_Ilmu,
Harsono. 1988. Choaching dan Aspek-aspek Pskologis dalam Choacing Jakarta C.V. tambak Kusuma
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD Books, Yogyakarta, 2001
Mantiq, .
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar